Bahan baku sumber energi memegang proporsi terbesar dalam formulasi pakan seperti jagung dan bekatul. Penggunaan jagung dalam formulasi pakan saat ini sekitar +50%. Kejadian mahalnya harga jagung akhir-akhir ini, berpengaruh terhadap harga hasil formulasi. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menekan harga pakan adalah melalui subtitusi jagung dengan bahan baku lain. Penggunaan limbah industri seperti tepung wafer/biskuit mulai dipertimbangkan sebagai bahan baku alternatif pengganti jagung.
A. Mengenal Limbah Wafer/Biskuit
Limbah wafer/biskuit merupakan sisa hasil produksi industri wafer/biskuit yang terdiri dari produk tak layak jual, sisa serpihan selama pengemasan atau produk yang sudah melewati masa kadaluarsa. Jumlah limbah yang dihasilkan bervariasi sebagai contoh salah satu produsen wafer dengan kapasitas produksi antara 26-30 ton/hari menghasilkan limbah wafer sebanyak 1,90-2,20 ton/hari (Muarifah, 2009). Selain itu, harga jual tepung wafer/biskuit pun bervariasi antara Rp. 3.000-Rp. 4.500 per kg.

Terdapat lebih dari 600 jenis karotenoid yang sudah ditemukan di alam. Secara alami, karotenoid terdapat pada tumbuh-tumbuhan, hewan, alga, fungi dan bakteri fotosintetik. Karotenoid tersebut dapat disintesis secara de novo (sintesis molekul kompleks dari molekul sederhana), kecuali pada hewan. Hewan tidak bisa mensintesis karotenoid, sehingga pigmen warna yang ada di dalam tubuhnya merupakan akumulasi pigmen dari pakan yang dikonsumsinya.
Secara umum karakteristik limbah wafer/biskuit tergantung komposisi bahan baku penyusunnya seperti tepung terigu, minyak, gula, air, garam, zat perasa dll. Limbah wafer/biskuit dengan perasa coklat misalnya akan memiliki warna, bau dan rasa seperti coklat. Terkadang adanya minyak sebagai komposisi penyusun wafer/biskuit mengakibatkan tekstur sedikit berminyak. Kualitas limbah wafer/biskuit juga bervariasi akibat penanganan selama penyimpanan misalnya ada/tidaknya jamur. Terdapat dua bentuk limbah wafer/biskuit yaitu bentuk bongkahan dan tepung. Bentuk bongkahan perlu digiling halus terlebih dahulu agar mempermudah pencampuran dengan bahan baku lainnya.
B. Kandungan Nutrisi Limbah Wafer/Biskuit
Kandungan nutrisi bahan baku akan menentukan capaian nutrisi hasil formulasi, sehingga sangatlah penting mengetahui nilai nutrisi bahan baku yang akan digunakan. Penggunaan bahan baku alternatif perlu memperhatikan berbagai persyaratan diantaranya:
- Memiliki kandungan nutrisi yang cukup dan berimbang
- Tidak mengandung toksin
- Palatabilitas tinggi
- Ketersediaan kontinyu
- Harga bersaing

Tabel 1. menunjukkan hasil pengujian 3 sampel limbah wafer/biskuit yang berbeda. Melihat fakta variasi nutrisi serta belum adanya standar nutrisi limbah wafer/biskuit, sangatlah penting mengetahui nilai nutrisi bahan baku yang akan digunakan. Selain kontrol kualitas secara fisik/organoleptik ketika kedatangan bahan baku, perlu melakukan uji kimia seperti analisis proksimat guna mengetahui nilai nutrisi sehingga formulasi yang disusun lebih presisi sesuai kebutuhan ayam petelur.
Kandungan lemak kasar yang tinggi, mendongkrak nilai energi metabolisme. Namun, hal ini perlu diwaspadai sebab semakin tinggi kadar lemak dalam suatu bahan baku, semakin rentan memicu reaksi oksidasi sehingga pakan mudah rusak termasuk nilai nutrisinya. Tanda munculnya reaksi oksidasi adalah pakan berbau tengik, menyebabkan turunnya tingkat palatabilitas (kesukaan) ternak pada pakan. Solusi pencegahan yang dapat dilakukan adalah kondisikan gudang penyimpanan pada kondisi ideal (suhu 25-32°C dan kelembapan maksimal 70%). Pada bahan baku dengan kadar lemak kasar yang tinggi, usahakan tidak disimpan terlalu lama (maksimal 21 hari).
C. Batasan Penggunaan Limbah Wafer/Biskuit
Tingginya kandungan energi metabolisme pada limbah wafer/biskuit merupakan kelebihan limbah wafer sebagai alternatif pengganti jagung. Namun, beberapa pengalaman di lapangan menunjukkan penggunaan limbah wafer/biskuit dalam jumlah yang tinggi untuk menggantikan jagung justru mengakibatkan permasalahan pada produksi. Beberapa permasalahan yang dijumpai seperti kuning telur yang pucat dan adanya feses basah atau wet dropping.
- Kuning Telur Pucat

Warna kuning telur merupakan salah satu parameter yang menunjukkan kualitas telur. Masyarakat Indonesia, lebih menyukai warna kuning telur yang pekat cenderung kemerahan. Warna kuning pada kuning telur dihasilkan oleh pakan yang mengandung pigmen karotenoid. Umumnya, semakin kuning bahan baku asal nabati semakin tinggi kandungan karotenoidnya. Limbah wafer/biskuit tidak mengandung karotenoid sebab sebagian besar komposisi wafer/biskuit berasal dari tepung terigu yang tidak mengandung pigmen karotenoid. Sehingga penggunaan dalam jumlah tinggi, perlu dikombinasikan dengan bahan baku lain yang mengandung karotenoid yang tinggi seperti corn gluten meal (CGM). Selain itu, penambahan pigmen sintesis seperti canthaxanthin yang terkandung dalam Mix Plus LLK8A mampu meningkatkan warna kuning telur.


- Feses Basah (Wet Dropping)
Kejadian feses basah atau wet dropping tidak hanya disebabkan faktor penyakit dan stres, tetapi faktor nutrisi juga bisa menjadi penyebabnya. Beberapa parameter nutrisi penyebab wet dropping seperti kelebihan protein kasar, serat kasar dan kadar garam. Berdasarkan hasil uji di Laboratorium Medion protein kasar limbah wafer/biskuit bervariasi antara 9-12%, sedangkan serat kasar relatif aman sekitar 0,12%, pada penelitian Shahryar et al., (2012) hasil uji serat kasar 2,55%. Kadar garam merupakan parameter yang jarang diamati, namun apabila berlebih bisa menyebabkan wet dropping. Berdasarkan hasil penelitian Dewanto (2009) kadar garam pada limbah biskuit sebesar 1,032%. Standar kadar garam dalam pakan ayam petelur sebesar 0,31%. Kadar garam yang terlalu tinggi menyebabkan konsumsi air minum meningkat, guna menyeimbangkan elektrolit dalam tubuh. Akibatnya, ayam mengalami wet dropping. Pengujian kadar garam dapat dilakukan dengan metode uji NaCl. Feses basah atau wet dropping mengakibatkan kadar amonia meningkat sehingga ayam rentan terkena penyakit pernapasan dan turunnya produksi.
Limbah biskuit/wafer memiliki potensi sebagai bahan baku alternatif sumber energi. Namun, dalam penggunaannya perlu memperhatikan batasan penggunaan agar tidak terjadi penurunan kuantitas maupun kualitas telur. Penggunaan limbah biskuit/wafer disarankan maksimal 15% dalam formulasi pakan ayam petelur fase produksi.
D. Formulasi Pakan Ayam Petelur dengan Limbah Wafer/Biskuit
Tingginya nilai nutrisi limbah wafer/biskuit perlu diikuti dengan kecernaan pakan yang tinggi. Semakin tinggi nilai kecernaan pakan semakin tinggi nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh ayam. Sebaliknya apabila kecernaan rendah, nutrisi tidak dapat dimanfaatkan tubuh kemudian dibuang bersama dengan feses. Nutrisi yang terbuang selain mencemari lingkungan, juga menimbulkan kerugian bagi peternak. Sehingga pada penggunaan bahan baku alternatif seperti limbah wafer/biskuit disarankan menambahkan multi enzim seperti Prozyme dengan dosis 0,75 kg/ton pakan untuk meningkatkan kecernaan nutrisi seperti energi, protein dan fosfor sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ayam.

Penggunaan bahan baku alternatif seperti limbah wafer/biskuit, apabila terdapat jamur, pisahkan bagian yang berjamur jangan sampai ikut masuk dalam pencampuran pakan. Sebagai antisipasi dapat ditambahkan Fungitox untuk mencegah tumbuhnya jamur dan racun jamur. Berikut contoh formulasi pakan ayam petelur fase produksi dengan penambahan 5 – 10% limbah wafer/biskuit (Tabel 3).


Berdasarkan hasil formulasi menggunakan 5-10% limbah wafer/biskuit bila dibandingkan dengan pakan kontrol dapat menghemat Rp. 100-200; per kg pakan. Sehingga dapat digunakan sebagai alternatif dikala harga jagung mahal atau ketersediaan jagung yang terbatas.
Hasil penelitian penggunaan limbah wafer/biskuit pada pakan ayam petelur masih jarang dilakukan, lebih banyak penelitian yang menggunakan limbah wafer/biskuit sebagai subtitusi jagung pada pakan ayam broiler. Penelitian penambahan limbah biskuit dilakukan Gebert et al., (2020) menggunakan ayam petelur strain Hy-Line Brown umur 48 minggu dengan 5 level perlakuan yang berbeda. Adapun limbah biskuit yang digunakan mempunyai nilai protein kasar 8,69% dan energi metabolisme 3.038,70 Kkal/kg.

Selain pengamatan performa, dilakukan juga pengamatan kualitas internal dan eksternal telur pada 3 waktu yang berbeda yaitu 3 minggu, 6 minggu dan 9 minggu.

Menurut Gebert et al., (2020) penambahan limbah biskuit pada pakan ayam petelur masih memungkinkan hingga 18%. Namun, tentunya batasan ini tergantung pada variasi limbah wafer/biskuit yang digunakan. Selain itu, respon ayam juga perlu diperhatikan, jangan sampai mengganggu kesehatan serta produksi telur. Penggunaan limbah wafer/biskuit dalam pakan ayam petelur hendaknya dilakukan secara bertahap mulai dari 1%. Trial bisa dilakukan pada ayam yang telah melewati puncak produksi. Hal ini dimaksudkan apabila terjadi produksi yang drop, kerugian bisa ditekan dibandingkan menggunakan ayam yang belum mencapai puncak produksi. Pantau dan evaluasi secara berkala hingga memperoleh level penggunaan yang aman.
Demikian sekilas info tentang penggunaan limbah wafer/biskuit pada pakan ayam petelur. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita. Salam.