Bapak Jaya – by email
Apakah obat antiprotozoa untuk terapi koksidiosis bisa mengalami resistensi pada unggas?
Jawab:
Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan. Koksidiosis merupakan penyakit infeksius pada unggas, disebabkan oleh agen protozoa luminal yang dikenal dengan nama Eimeria sp. Spesies Eimeria yang menginfeksi unggas dapat menyebabkan penyakit enterik, ditandai dengan diare berdarah, lemas, penurunan berat badan, dehidrasi, pucat, bulu kusam, dan terkadang kematian. Eimeria sp. yang termasuk ke dalam parasit intraseluler akan menyebabkan gangguan mukosa usus saat bereproduksi, menyebabkan kerusakan jaringan, sehingga mengganggu proses makan dan penyerapan nutrisi. Beberapa spesies Eimeria yang paling sering ditemukan pada unggas antara lain Eimeria acervulina di duodenum, Eimeria necratix di jejunum dan Eimeria tenella di sekum. Apabila dilakukan nekropsi, usus unggas yang terinfeksi Eimeria sp. akan menunjukkan adanya peradangan (enteritis), isi usus akan terlihat berwarna orange hingga merah pepaya, serta temuan darah di lumen usus.




Unggas dapat terinfeksi Eimeria sp. apabila menelan ookista yang tersporulasi di lingkungan dan terjadi siklus reproduksi Eimeria di dalam usus. Ookista yang termakan oleh ayam akan masuk ke saluran pencernaan, adanya gerak peristaltik usus dan enzim pencernaan akan menyebabkan membran ookista pecah sehingga sporokista di dalam ookista keluar ke lumen usus. Sporokista mengandung sporozoit yang merupakan tahap infektif dari protozoa (Otranto & Wall, 2025). Sporozoit akan masuk ke epitel usus dan memulai siklus reproduksi. Sporozoit akan menembus sel epitel dan membulat, membentuk tropozoit yang akan membelah dan membentuk skizogoni. Skizogoni generasi pertama akan menghasilkan merozoit generasi pertama yang akan merusak sel dan menghasilkan skizogoni generasi kedua, yang kemudian menghasilkan merozoit generasi kedua. Fase ini merupakan fase reproduksi aseksual Eimeria sp. di dalam sel-sel epitel usus. Fase seksual dimulai ketika merozoit yang berhasil menembus sel menghasilkan gametofit jantan (mikrogametosit) dan gametofit betina (makrogametosit), yang kemudian bergabung dan membentuk ookista baru lalu dikeluarkan bersama feses. Pada fase ini, secara klinis akan muncul gejala diare berdarah akibat kerusakan jaringan epitel usus (Sokół & Gałęcki, 2018; Swayne, 2020).
Infeksi Eimeria sp. pada unggas menjadi permasalahan yang serius karena memberikan dampak signifikan pada produktivitas ayam. Selain mortalitas yang cukup tinggi, kerugian lain seperti pertumbuhan berat badan yang terhambat, Feed Conversion Ratio (FCR) yang buruk, keseragaman yang rendah, serta risiko rentan terserang penyakit lain menjadi tantangan yang harus dihadapi peternak dalam menangani koksidiosis pada unggas. Penanganan koksidiosis pada unggas dapat dilakukan dengan pemberian antiprotozoa yang merupakan jenis obat untuk membunuh Eimeria sp. sebagai agen penyebab koksidiosis dan supportif seperti multivitamin untuk membantu menjaga performa ternak.
Namun, tantangan saat ini lebih dari sekedar infeksi Eimeria sp. pada unggas yang dapat mengganggu produktivitas dan menyebabkan kerugian ekonomi. Berdasarkan data penyakit yang dikumpulkan oleh tim surveillance Medion, persentase kejadian penyakit koksidiosis selama 3 tahun terakhir pada ayam broiler sebanyak 12.37 % kasus, layer 4.84% kasus, dan breeder (layer dan broiler) 8.08% kasus. Tingginya kasus koksidiosis pada unggas, diikuti dengan penggunaan antiprotozoa yang masif menimbulkan kekhawatiran adanya resistensi antiprotozoa pada unggas yang berdampak pada penurunan efektivitas obat antiprotozoa terhadap Eimeria sp. Sama halnya dengan isu resistensi antibiotik terhadap bakteri, resistensi antiprotozoa akan menyebabkan protozoa kebal terhadap obat antiprotozoa.
Resistensi antiprotozoa didefinisikan sebagai kemampuan protozoa untuk menghambat aksi dari agen antiprotozoa, fenomena ini terjadi ketika antiprotozoa kehilangan efisiensinya dan efektivitasnya untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh protozoa. Elelu et al (2022) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa resistensi antiprotozoa dapat terjadi akibat adanya seleksi alam pada agen protozoa dan tekanan seleksi akibat dosis sub-terapeutik antiprotozoa, yang menyebabkan adanya inaktivasi obat oleh gen resisten. Resistensi antiprotoza dapat terjadi melalui dua mekanisme utama yaitu mutasi terkait resistensi pada parasit protozoa dan tekanan selektif. Mutasi sederhana, ganda, atau kuadrupel (mutasi genetik ganda yang terjadi pada empat asam amino) pada berbagai gen protozoa menjadi faktor yang menyebabkan resistensi antiprotozoa (Capela et al., 2019). Mekanisme resistensi malalui tekanan selektif dikaitkan dengan diagnosis yang buruk (termasuk konfirmasi laboratorium) pada sebagian besar penyakit protozoa, penggunaan obat antiprotozoa yang tidak tepat, kualitas obat yang buruk, dan ketidakpatuhan terhadap aturan pengobatan standar. Selain itu, penggunaan dosis sub-terapeutik sebagai pengobatan profilaksis pada hewan juga berkontribusi terhadap perkembangan resistensi protozoa. Ababu et al (2021) menjelaskan bahwa praktik penggunaan obat antiprotozoa yang tidak sesuai berpotensi mempengaruhi kualitas, keamanan, dan efektivitas obat antiprotozoa yang dapat menyebabkan perkembangan resistensi obat.
Upaya untuk mencegah resistensi antiprotozoa pada unggas dapat dilakukan dengan pengobatan yang tepat, dengan mempratikkan “prinsip 5 tepat pengobatan” meliputi tepat diagnosa, tepat pemilihan obat, tepat dosis, tepat aplikasi, dan tepat waktu pengobatan. Pada kasus koksidiosis unggas, diagnosa dilakukan dengan melihat gejala klinis dan perubahan patologi anatomi. Peneguhan agen koksidiosis dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi agen protozoa melalui pemeriksaan mikroskopis ookista di feses atau isi usus. Pada pemeriksaan laboratorium, agen penyebab koksidiosis akan diidentifikasi secara kualitatif dengan melihat keberadaan ookista dan kuantitaif dengan menghitung jumlah ookista untuk melihat derajat keparahan infeksi.
Pencegahan resistensi antiprotozoa melalui pemberian obat antiprotozoa yang tepat dan bijak sesuai produsen obat dan tenaga kesehatan hewan akan membantu mengurangi tekanan selektif pada Eimeria sp. Obat antiprotozoa yang digunakan untuk mengobati koksidiosis dapat menghancurkan atau menghambat kemampuan reproduksi protozoa dengan mengganggu proses metabolisme, mengganggu reproduksi, dan fisiologi neuromuskular parasit (Capela et al., 2019). Medion, sebagai produsen obat hewan di Indonesia memiliki produk obat antiprotozoa yang efektif menangani koksidiosis pada unggas. Terdapat tiga golongan antiprotozoa yang diproduksi oleh Medion, yaitu sulfonamida, thiamine antagonist, dan triazinetrione, masing-masing golongan memiliki cara kerja yang berbeda dalam membunuh protozoa berdasarkan siklus hidup protozoa. Golongan sulfonamida dan thiamine antagonist membunuh protozoa pada fase reproduksi aseksual, sedangan golongan triazinetrione membunuh protozoa pada fase seksual dan aseksual. Selain itu, Medion juga memproduksi obat herbal antiprotozoa yang mampu menghambat tahap multiplikasi Eimeria sp. dan menghalangi sporozoit untuk penetrasi dan menginfeksi dinding usus halus. Obat-obat antiprotozoa yang diproduksi oleh Medion disajikan pada Tabel 1.


Tekanan selektif terhadap agen protozoa yang memicu terjadinya resistensi antiprotozoa juga dapat diminimalisir dengan rolling golongan antiprotozoa dalam penanganan kasus. Rolling golongan akan membantu obat-obatan antiprotozoa tetap efektif membunuh agen protozoa dan dapat menekan kejadian resistensi antiprotozoa. Tingginya kasus koksidiosis pada unggas akan selaras dengan penggunaan antirpotozoa sebagai agen terapi kausatif.
Pengendalian koksidiosis dapat dilakukan dengan melakukan upaya pencegahan melalui kontrol agen penyebab dengan meminimalisir faktor predesposisi yang diikuti dengan kontrol manajemen dan biosecurity yang baik. Kepadatan kandang dan kelembapan kandang yang tinggi, diikuti dengan kualitas litter yang buruk dapat menjadi faktor predesposisi koksidiosis pada unggas karena akan menciptkan suasana yang ideal untuk sporulasi ookista Eimeria sp. Swayne (2020) menjelaskan bahwa Ookista Eimeria sp. akan bersporulasi menjadi fase infektif pada kondisi tersedianya oksigen serta kondisi lingkungan yang lembap dan hangat selama 48-72 jam.
Ookista Eimeria sp. yang tersporulasi di lingkungan akan memicu penularan koksidiosis secara horizontal. Ayam yang terinfeksi akan mengeluarkan ookista bersama dengan feses, pada kondisi lingkungan yang sesuai untuk proses sporulasi, ookista akan menjadi infektif dan dapat termakan oleh ayam yang sehat. Kondisi tersebut akan menyebabkan penularan koksidiosis yang masif dalam satu populasi. Oleh karena itu, penerapan manajemen dan biosecurity yang baik sangat penting untuk mencegah terjadinya infeksi. Upaya pencegahan dapat dilakukan antara lain dengan menaburkan kapur di bagian dalam dan luar kandang, melakukan perlakuan terhadap litter sebelum ditebar melalui penjemuran atau spray formalin sampai kering, menjaga kondisi litter agar tidak lembap dengan membolak-baliknya secara rutin, mengganti bagian yang menggumpal, serta menambahkan litter baru bila diperlukan. Selain itu, optimalisasi masa istirahat kandang, manajemen brooding yang baik, pengaturan kepadatan dan ventilasi kandang, desinfeksi kandang serta peralatan, dan pengendalian lalu lintas personel maupun kendaraan juga perlu dilakukan untuk memutus siklus penularan koksidiosis.
Referensi :
Elelu, N., Agene, G., Sanusi, F., & Al-Mustapha, A. I. (2022). A cross-sectional questionnaire survey on knowledge of anti-protozoal drug use and resistance among AHPs in Kwara State, Nigeria. BMC Veterinary Research, 18(1), 214.
Swayne, D. E. (2020). Diseases of poultry. John Wiley & Sons.
Otranto, D., & Wall, R. (2024). Veterinary parasitology. John Wiley & Sons.
Sokół, R., & Gałęcki, R. (2018). The resistance of Eimeria spp. to toltrazuril in black grouse (Lyrurus tetrix) kept in an aviary. Poultry Science, 97(12), 4193-4199.
Ababu, A., Endashaw, D., Fesseha, H., & Mathewos, M. (2021). Antiprotozoal drug handling and management practices in Asella District, Central Oromia, Ethiopia. Veterinary Medicine International, 2021(1), 6648328.
Capela, R., Moreira, R., & Lopes, F. (2019). An overview of drug resistance in protozoal diseases. International journal of molecular sciences, 20(22), 5748.
Materi Presentasi Khusus_2025_B03_Koksidiosis & NE serta pengendaliannya
