Istilah mikotoksin sepatutnya sudah cukup familiar terdengar di telinga para peternak. Saat mikotoksin terkonsumsi ayam, produktivitas akan menurun, baik berupa hambatan pertumbuhan, penurunan produksi telur bahkan kematian. Tidak hanya itu, zat metabolit ini juga berperan sebagai imunosupresan yang mampu melemahkan sistem kekebalan tubuh hingga menyebabkan respon tubuh dalam pembentukan antibodi hasil vaksinasi menjadi kurang optimal. Akibatnya ayam menjadi lebih mudah terinfeksi bibit penyakit.

Mengenal Mikotoksin dan Mikotoksikosis

Mikotoksin merupakan metabolit sekunder hasil metabolisme spesies kapang/jamur tertentu yang tumbuh pada bahan pangan maupun pakan. Saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin, lima jenis diantaranya yang banyak menyerang unggas dan berbahaya yaitu aflatoksin, fusariotoksin (T-2, DON, zearalenon dan fumonisin B1) dan okratoksin. Berbagai macam mikotoksin tersebut biasanya ditemukan dalam produk pertanian (jagung, bekatul, kedelai) dengan jumlah/konsentrasi yang bervariasi, mulai dari part per billion (ppb) sampai part per million (ppm).

Mikotoksin merupakan bahan kimia yang bersifat sangat stabil dan dapat bertahan dalam jangka waktu lama walaupun jamur yang menghasilkannya telah mati. Bahkan terhadap perlakuan panas saat memroses pakan, mikotoksin sama sekali tidak bisa terdegradasi atau dihancurkan.

Mikotoksikosis adalah penyakit keracunan yang disebabkan oleh mikotoksin. Serangan mikotoksikosis pada ayam dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, kondisi fisik, status nutrisi, kadar dan jenis mikotoksin, konsumsi pakan, lama serangan, dan manajemen peternakan.

Mekanisme Pencemaran Jamur Dan Mikotoksin

Bahan baku biji jagung menjadi salah satu bahan yang seringkali mudah ditumbuhi jamur. Hal ini dikarenakan energi pada jagung berbentuk pati yang sebagian besar tersusun atas amilopektin, dan bakal biji yang mengandung sebagian besar minyak (lipid). Hampir seluruh peternakan ayam menggunakan biji-bijian, terutama jagung, dalam pakannya, dengan demikian semua peternakan ayam memiliki risiko yang sama untuk mengalami kasus mikotoksikosis. Meski begitu, munculnya kasus mikotoksikosis ini tergantung dari keoptimalan manajemen pakan yang diterapkan di masing-masing peternakan.

Selain mencemari pakan secara tunggal, beberapa jenis mikotoksin bisa secara bersamaan mencemari pakan. Efek dan bahaya yang ditimbulkan menjadi lebih parah dibandingkan dengan hanya satu jenis mikotoksin yang bekerja di dalam tubuh ayam. Keberadaan mikotoksin pada pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Iklim dan global warming

Kondisi cuaca selama masa panen hingga penyimpanan bahan pakan berpengaruh terhadap meningkatnya kejadian berjamur dan permasalahan mikotoksin. Di negara tropis seperti Indonesia, kontaminasi mikotoksin sangat sulit untuk dihindari karena kondisi iklim dengan tingkat kelembapan, curah hujan dan suhu yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan jamur penghasil mikotoksin. Metabolit sekunder jamur ini tumbuh dan berkembang subur pada suhu 25-29°C dan kelembapan relatif ± 70%.

2. Kadar air dan kelembapan

Bahan pakan dengan kadar air di atas 14%, terutama bahan baku yang sifatnya higroskopis, sangat potensial untuk ditumbuhi jamur.

3. Kondisi bijian

Jamur (mikotoksin) juga dipengaruhi terhadap banyaknya porsi broken seed (biji pecah), kondisi bijian yang sudah rusak, baik karena pemanasan yang berlebih, penggilingan maupun karena dirusak serangga. Jamur (mikotoksin) akan semakin banyak saat biji pecah dan disimpan lama. Selain itu kondisi lama penyimpanan yang buruk berpotensi menimbulkan kontaminasi sehingga mengakibatkanya kadar nutrisi pakan menurun. Daya simpan pakan ayam yang baik umumnya berlangsung selama 21-30 hari sejak tanggal produksi (batch). Sedangkan penyimpanan pakan dalam gudang yang lembap dipastikan akan menyebabkan pakan rusak dalam waktu 2-3 hari saja.

4. Kondisi dan lama penyimpanan pakan

Kesalahan penyimpanan bahan baku atau pakan pada umumnya seperti tidak cukup ventilasi pada gudang penyimpanan, dan di tempat yang lembap. Selain kurangnya penggunaan pallet di bawah tumpukan ransum dan terlihat ransum menempel pada dinding. Meskipun kadar air pakan yang berasal dari pabrikan atau bahan baku pakan dari supplier sudah memenuhi standar, tidak menjamin bahwa pakan yang akan diberikan pada ayam akan tetap baik kualitasnya jika penyimpanannya tidak tepat.

Perkembangan Kasus dan Dampaknya

Kasus mikotoksikosis masih menjadi salah satu kasus penting di peternakan Indonesia. Bagaimanakah perkembangan kasus mikotoksikosis dari tahun ke tahun? Berikut adalah data kasus mikotoksikosis yang dihimpun oleh tim Technical Education and Consultation Medion pada tahun 2020. Grafik 1 dan 2 menunjukkan persentase kejadian kasus pada ayam broiler dan layer yang bervariasi setiap tahunnya. Penurunan kasus mikotoksikosis yang terjadi di tahun 2019 bisa diperkirakan akan meningkat kembali jika diperparah dengan kondisi cuaca ekstrem yang tidak dapat kita prediksi.

Pada kasus serangan mikotoksikosis, efek dari mikotoksin terkadang tidak diketahui oleh peternak secara pasti sehingga kerugian dari segi efisiensi pakan menjadi cukup besar, misalnya terjadi peningkatan nilai FCR atau penurunan produksi telur yang mencapai 25-40%.

Efek toksisitas (keracunan) mikotoksin tersebut tergantung dari intensitas dan waktu intoksifikasi (penyebaran racun), serta bersifat akumulatif. Ayam pedaging yang mengonsumsi pakan terkontaminasi mikotoksin terbukti pertumbuhannya terhambat. Dersjant-Li et al., (2003) mengestimasi bahwa setiap peningkatan 1 mg/kg aflatoksin dalam pakan akan menekan laju pertumbuhan ayam pedaging sebesar 5%. Begitu pula pada ayam petelur. Adanya kontaminasi mikotoksin akan mengakibatkan penurunan produksi telur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Kualitas kerabang telur juga menurun karena aflatoksin akan menghambat proses konversi vitamin D3 yang terkandung dalam pakan menjadi bentuk aktif, sehingga tidak bisa dimanfaatkan untuk produksi kerabang telur.

Di sisi lain, keberadaan mikotoksin juga bisa menghambat penyerapan asam amino, vitamin (khususnya vitamin A, D, E, K), dan mineral (Ca dan P) di saluran pencernaan, serta menghambat sintesa protein DNA/RNA. Di tingkat usaha pembibitan (breeding farm), cemaran mikotoksin bahkan bisa menurunkan fertilitas karena menyebabkan atropi testis pada ayam jantan yang dipelihara.

Sebagai Imunosupresan

Selain mampu menurunkan hasil produktivitas ayam, mikotoksin juga diketahui memiliki pengaruh besar terhadap turunnya sistem imun (pertahanan tubuh) ayam atau bersifat imunosupresif. Imunosupresif yang disebabkan oleh mikotoksin bersifat kronis, namun jika konsentrasinya tinggi akan bersifat akut. Dampak lanjut dari efek imunosupresif ini ialah meningkatnya kematian ayam, mudahnya ayam terserang penyakit lain, serta meningkatkan kolonisasi bakteri patogen di saluran pencernaan ayam. Mikotoksikosis dapat memicu terjadinya berbagai penyakit, seperti Gumboro (IBD), malabsorption syndrome dan fatty liver syndrome.

Kenali Jenis Mikotoksin dan Gejalanya

Berikut beberapa jenis mikotoksin yang sering mengontaminasi ransum dan gejala serta perubahan patologi anatomi yang ditimbulkan :

1. Aflatoksin

Aflatoksin dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus dan Penicillium puberulum. Aflatoksin bersifat sangat toksik dan karsinogenik. Jenis jamur ini memiliki daya tumbuh yang baik di berbagai tempat sehingga lebih mudah mencemari bahan baku pakan, misalnya jagung. Jamur penghasil aflatoksin tersebut tumbuh optimal dan menghasilkan toksin pada suhu 36,2-37,8°C dengan kelembapan relatif 80-85%. Jenis yang paling beracun adalah aflatoksin B1 yang sering mengkontaminasi jagung, kacang tanah, biji kapas, sereal, jerami dan minyak nabati. Aflatoksin B1 mempunyai efek primer yang bersifat hepatotoksik pada berbagai hewan termasuk ayam. Aflatoksin dapat menganggu proses metabolisme vitamin D, menyebabkan pertumbuhan bulu terhambat, dan tulang menjadi rapuh. Apabila dilakukan bedah bangkai akan ditemukan hati berwarna pucat dan rapuh, terjadi erosi pada gizzard (gizzard erotion/keropeng pada ampela), perdarahan pada otot paha atau dada, pembengkakan ginjal, pembesaran ginjal dan limpa, pengecilan/atopi dari jaringan limfoid seperti bursa Fabricius dan tymus, serta terkadang ditemukan blood spot (bintik darah) pada telur.

2. T2 Toksin

Mikotoksin yang digolongkan dalam trikotesen dihasilkan oleh Fusarium graminearum, Fusarium sporotrichioides, Fusarium tricinctum, Calonectria sp., Gibberella sp., Trichoderma, Trichothecium dan Phomopsis. Suhu 6-24°C merupakan kondisi yang optimum diproduksinya mikotoksin ini. Penyakit yang disebabkan oleh toksin T-2 disebut dengan T-2 toksikosis. Metabolisme toksin T-2 terutama terjadi di hati dan merupakan satu-satunya jenis toksin kelompok trikotesen yang ditemukan di dalam hati. Untuk kasus infeksi jamur Fusarium sp. ini akan ditemukan adanya ventrikulus atau gizzard yang mengalami erosi. T2 toksin juga menyebabkan lesi pada mulut ayam (seperti cacar). Selain itu, kerusakan oleh T2 toksin dapat menyebabkan kematian jaringan limfoid dan sumsum tulang belakang.

3. Okratoksin

Oktratoksin dihasilkan oleh jamur Aspergillus ochraceus dan Penicillium viridicatum. Toksin ini mempengaruhi enzim dalam metabolisme fenilalanin, mengubah sistem transportasi mitokondria, menghambat ATP serta meningkatkan produksi peroksida lemak, radikal dan superoksida. Okratoksin terakumulasi pada ginjal, hati, otot, dan lemak serta dapat mempengaruhi pembentukan daging. Okratoksin dapat menyebabkan atropi thymus, menghambat fagositosis, dan menyebabkan penipisan sel limfosit T dan B.

Untuk lebih tepat mendeteksi infeksi mikotoksin tersebut, harus didukung dengan pengujian sampel pakan, baik melalui metode kualitatif ataupun kuantitatif. Dalam metode kualitatif, untuk mendeteksi ada tidaknya mikotoksin (terutama aflatoksin) di dalam bahan baku seperti jagung, peternak bisa mengujinya menggunakan sinar UV. Caranya, sampel jagung digiling terlebih dahulu, kemudian diletakkan dalam kotak hitam dan sorot dengan lampu senter UV. Jagung yang terlihat berpendar (berwarna hijau keunguan) menandakan bahan baku sudah mengandung aflatoksin. Sedangkan pada metode kuantitatif, peternak bisa mengujikan sampel bahan baku atau pakan tersebut ke Laboratorium Medion (MediLab) untuk mengetahui berapa kadar (ppm) mikotoksin yang ada di dalamnya.

Tindakan Pencegahan dan Cara Menangani Mikotoksikosis

Kerugian yang besar akibat kontaminasi mikotoksin ini menyadarkan kita bahwa upaya pencegahan penting untuk dilakukan. Tentunya pencegahan tumbuhnya jamur menjadi langkah awal terpenting yang harus kita lakukan. Mengapa? Saat jamur tumbuh pada bahan baku pakan, maka bisa dipastikan mikotoksin telah terbentuk. Terlebih lagi, membasmi mikotoksin memerlukan treatment yang lebih banyak, baik perlakuan fisik, kimia maupun biologi, sehingga kurang efisien. Beda dengan upaya membasmi jamur yang sangat mudah, misalnya dengan pemanasan.

Untuk itu, beberapa langkah pencegahan yang bisa kita lakukan ialah:

  • Lakukan pemeriksaan kualitas bahan baku pakan secara rutin, terutama saat kedatangan bahan baku. Usahakan kadar air bahan baku atau pakan jadi ≤14%. Jika terlanjur mendapatkan bahan baku dengan kadar air >14%, maka segera keringkan bahan pakan dengan cara dijemur atau menggunakan alat pengering khusus, agar kadar airnya turun. Jika kondisi cuaca tidak memungkinkan juga untuk pengeringan, maka lakukan pengaturan stok dan gunakan bahan baku pakan tersebut sesegera mungkin. Jika perlu tambahkan mold inhibitor, seperti asam propionat untuk menghambat pertumbuhan jamur. Jagung seharusnya disimpan pada kondisi tetap kering (kadar air <14%) untuk menghambat tumbuhnya jamur selama penyimpanan.
  • Terapkan sistem penyimpanan secara first in first out (FIFO: disimpan berdasarkan tanggal kedatangan bahan pakan) atau first exipired first out (FEFO: disimpan berdasarkan tanggal kadaluarsa). Jadi, prioritaskan bahan baku pakan berusia lebih lama untuk digunakan terlebih dahulu. Tetapi jika ada bahan baku berkualitas kurang baik dan tidak memungkinkan disimpan lebih lama, dapat digunakan terlebih dahulu meskipun baru datang.
  • Sebaiknya pembangunan gudang pakan mengacu pada prosedur pembangunan kandang yang dipersyaratkan, seperti cukup ventilasi, tidak di tempat yang lembap, posisi lantai lebih tinggi dari permukaan tanah, dan terhindar dari debu.
  • Gunakan pallet di bawah tumpukan pakan. Usahakan pakan tidak menempel pada dinding. Berikan jarak minimal 50 cm dari dinding gudang.
  • Pastikan gudang atau tempat penyimpanan pakan tidak terkena tampias air hujan, sistem sirkulasi udara lancar, dan tidak lembap. Hindari aktivitas pengocoran pakan dengan air untuk merangsang nafsu makan ayam secara berlebihan karena dapat meningkatkan risiko tumbuhnya jamur dan produksi mikotoksin.
  • Mencegah kontaminasi kutu, tikus dan serangga karena akan merusak pakan sehingga kadar nutrisinya menurun serta berpotensi menyebarkan penyakit
  • Hindari penggunaan karung atau zak pakan secara berulang.
  • Bagi peternak self mixing, tingkatkan periode pembersihan mesin grinder maupun mixer, misalnya 2-3 hari sekali. Sisa pakan, terutama yang berupa serbuk yang terdapat pada kedua alat itu akan menjadi sumber kontaminasi jamur pada bahan baku pakan lainnya.
  • Selama penyimpanan bahan baku atau pakan, hendaknya dilakukan pengecekan jagung secara rutin dan jika teridentifikasi ada jamur yang tumbuh, segera panaskan (>71-100°C) atau jemur pakan agar jamurnya mati.

Saat jamur dan mikotoksin telah ditemukan mengontaminasi pakan, beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menekan efek mikotoksin ini antara lain:

  • Menyeleksi bahan pakan atau pakan dengan membuang yang terkontaminasi jamur sangat banyak.
  • Jika pakan yang terkontaminasi jamur jumlahnya sedikit, bisa dilakukan pencampuran dengan bahan baku atau pakan yang belum terkontaminasi. Namun yang perlu diperhatikan ialah bahan baku ini hendaknya segera diberikan ke ayam agar konsentrasi mikotoksin tidak meningkat.
  • Penggunaan toxin binder (pengikat mikotoksin). Penambahan toxin binder menjadi solusi efektif untuk mengikat mikotoksin dengan kuat saat di dalam saluran pencernaan, sehingga mikotoksin tidak “aktif” dan akhirnya keluar bersamaan dengan feses (Galvano et al., 2001). Contoh toxin binder yang banyak digunakan di lapangan karena aplikasinya mudah dan efektif mengikat mikotoksin adalah Freetox.
  • Tidak ada obat khusus untuk penanganan mikotoksikosis. Suplementasi vitamin high concentrate, terutama vitamin larut lemak (A, D, E, dan K), asam amino (metionin dan penilalanin) serta meningkatkan kadar protein dan lemak dalam pakan mampu menekan kerugian akibat mikotoksin. Fortevit, Top Mix HC, atau Mix Plus bisa menjadi alternatif pilihan.
  • Berikan Gumbonal 1 g/L air minum selama 3-5 hari untuk mengurangi gejala kebengkakan.
  • Pemberian hepatoprotektor seperti Heprofit juga dapat dilakukan untuk memperbaiki fungsi hati, mengingat sudah terjadi perubahan organ pada hati ayam.

Penggunaan Toxin Binder

Penggunaan toxin binder memang menjadi salah satu metode yang efektif untuk menghindari efek negatif mikotoksin pada ayam. Prinsip kerja dari toxin binder ialah mengikat mikotoksin dalam saluran pencernaan dengan kuat, lalu mengeluarkannya bersama dengan feses.

Dalam menjaga kualitas toxin binder yang sudah dibeli, ada hal-hal yang harus diperhatikan antara lain:

a) Dosis pemberian

Efektifitas toxin binder tergantung dosis yang diberikan. Setiap produsen toxin binder telah menghitung dengan teliti berapa gram penggunaannya yang paling efektif dan efisien.

b) Cara pencampuran

Pencampuran toxin binder harus dilakukan dengan baik sehingga bisa tercampur secara homogen dengan bahan baku pakan atau pakan jadi. Jika tidak dilakukan secara merata, maka efektivitas toxin binder dari masing-masing ayam akan berbeda. Selain itu, hendaknya juga memperhatikan kondisi pH dan suhu saat pencampuran, terutama jika dicampurkan saat proses pembuatan pellet atau crumble.

c) Penyimpanan

Toxin binder harus disimpan dalam kondisi yang baik, di tempat yang kering dan mempunyai suhu yang optimal. Idealnya, gudang penyimpanan mempunyai suhu 20-25°C dengan kelembapan 60-70%. Penyimpanan juga sebaiknya menggunakan pallet sebagai alas, serta dilengkapi dengan blower. Penyimpanan yang kurang tepat akan menurunkan kualitas toxin binder.

Penambahan Freetox menjadi solusi efektif dan paling banyak dilakukan untuk mengikat mikotoksin (terutama aflatoksin) sehingga tidak terserap saat di saluran pencernaan ayam. Bahan aktif dalam Freetox dilaporkan mampu mengikat aflatoksin dengan daya ikat paling tinggi. Freetox juga mampu mengikat ≥80% total aflatoksin yang terdapat dalam pakan, serta mengikatnya dengan ikatan lebih kompleks/erat. Ikatan tersebut juga diketahui stabil pada pH 2, 7, dan 10 serta pada suhu 25-37°C. Saat berada di saluran pencernaan ayam, Freetox juga tidak akan mengikat nutrien lain (vitamin, mineral, asam amino) maupun obat dalam pakan, sehingga aman digunakan.

Untuk pakan dengan kadar air <14% dan kadar mikotoksinnya rendah, cukup campurkan 1-2 kg Freetox per 1 ton pakan. Namun jika kadar air pakan >14% dan kadar mikotoksinnya medium/sedang sampai tinggi, maka campurkan 3-5 kg Freetox dengan 1 ton pakan.

Mikotoksin faktanya mampu menurunkan produktivitas ayam, bahkan menjadikan ayam rentan terserang penyakit (imunosupresif). Oleh karena itu, sudah selayaknya kita harus melakukan antisipasi terhadap kehadirannya. Semoga bermanfaat. Salam.

Ancaman Mikotoksin yang Tidak Kunjung Usai
Tagged on:                     

Produk Unggulan

x
Subscribe To Our Newsletter
We respect your privacy. Your information is safe and will never be shared.
Don't miss out. Subscribe today.
×
×
WordPress Popup Plugin