Pengembangan usaha peternakan ayam petelur di Indonesia memiliki prospek yang terbuka lebar. Hal ini karena telur merupakan salah satu produk yang dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia. Secara garis besar parameter keberhasilan usaha ini ditentukan dari 2 aspek, yaitu aspek pencapaian produktivitas dan keuntungan finansial. Untuk mencapai kedua parameter keberhasilan tersebut, maka produksi telur, yang dilihat dari kuantitas dan kualitasnya, harus mampu dicapai dengan maksimal.

Sejauh ini masih ada beberapa peternak yang menghadapi berbagai masalah yang berdampak pada penurunan produksi telur, baik penurunan jumlah maupun kualitasnya. Untuk itu, mengenai produksi telur dan problematika penyebab penurunannya akan coba kami ulas kembali dalam edisi kali ini.


Ayam Petelur Modern dan Produksinya

Keberhasilan pencapaian produksi telur itu sendiri dilihat dari 2 nilai yaitu nilai kuantitas/jumlah produksi (Hen day) dan nilai kualitas. Jika persentase jumlah produksi telur tinggi namun kualitasnya rendah, maka peternak akan menghadapi masalah terkait ekonomi karena telur dengan kualitas rendah tidak akan laku di pasaran. Demikian pula sebaliknya, jika kualitasnya bagus namun persentase produksinya rendah maka peternak tetap akan mengalami kerugian ekonomi. Untuk itu perlu adanya upaya mendiagnosa secara cepat dan tepat penyebab penurunan produksi telur agar peternak dapat segera mengantisipasinya. Jika ini dapat dilakukan dengan baik, maka kerugian yang lebih besar dapat dihindari.

  • Persentase jumlah produksi telur

Ayam petelur mulai berproduksi ketika mencapai umur 18 minggu. Pada umur tersebut, tingkat produksi telur baru mencapai sekitar 4-5% dan selanjutnya akan terus mengalami peningkatan secara cepat hingga mencapai puncak produksi yaitu sekitar 96% dalam kurun waktu ± 2 bulan (di umur 26 minggu). Sesuai dengan pola siklus bertelur, maka setelah mencapai puncak produksi, sedikit demi sedikit jumlah produksi mulai mengalami penurunan secara konstan. Pada saat ayam berumur 90-100 minggu, jumlah produksi telah berada di bawah angka 70% dengan jumlah telur per hen house 466 butir dan pada kondisi demikian bisa dikatakan ayam siap di afkir (HyLine Brown Management Guide, 2019).

  • Kualitas telur

Kualitas dari sebutir telur ditentukan oleh kualitas bagian dalam (kekentalan putih dan kuning telur, warna kuning telur dan ada tidaknya bintik darah pada putih atau kuning telur) dan kualitas bagian luar (bentuk, ukuran dan warna kerabang). Telur ayam komersial yang normal memiliki ciri-ciri berwarna coklat terang, kerabang telur tebal, memiliki berat sekitar 52-65 gram/butir, putih telur kental dan di dalam kuning telur tidak terdapat blood spot/bintik darah.

Sejak pertama kali ayam bertelur, yaitu ketika mencapai umur 18 minggu hingga afkir, ukuran dan berat telur memang tidak akan sama setiap harinya. Dalam hal ini, peternak harus memastikan apakah ukuran/berat telur yang dihasilkan sesuai/mendekati standar atau jauh dari standar. Jauh dari standar, artinya bisa lebih besar atau lebih kecil. Ketidaksesuaian ukuran dan berat telur ini yang disebabkan oleh beberapa faktor.

Mengenai masalah terkait warna telur, umumnya ada beberapa peternak yang menemukan telur tidak berwarna coklat. Warna coklat pada telur ayam pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor genetik yaitu adanya zat warna phorpyrin di saluran reproduksi ayam. Jadi setiap jenis unggas, telah ditentukan warna telurnya baik putih, biru atau coklat. Namun dalam pembentukan warna kulit telur juga dipengaruhi oleh asupan nutrisi tertentu. Kondisi lingkungan dan penyakit juga bisa berpengaruh terhadap optimal tidaknya pewarnaan kerabang telur. Sedangkan masalah kerabang telur tipis dan lembek bisa bersumber dari nutrisi ataupun karena infeksi penyakit.

Problematika Produksi Telur

Secara garis besar ada dua penyebab utama yang mengakibatkan turunnya produksi telur yaitu disebabkan oleh faktor infeksius dan non infeksius. Seringkali kedua faktor tersebut terkait satu sama lain dan menghasilkan dampak yang lebih besar. Berikut penjelasannya :

  1. Faktor infeksius (penyakit)

Kerusakan atau gangguan pada sistem reproduksi akibat infeksi salah satu penyakit penurun produksi telur tersebut akan mengakibatkan produksi telur menurun. Diantaranya adalah penyakit ND, AI, IB dan EDS. Penurunan produksi telur akibat serangan virus IB bisa mencapai 70%, EDS menurun sekitar 20-40% dan AI bisa mencapai 80%, sedangkan pada kasus ND produksi telur mengalami penurunan bervariasi mulai dari 7 sampai 60%.

Serangan AI saat ini didominasi serangan LPAI yakni subtipe H9N2 yang cenderung menyerang sistem reproduksi dan pada serangan tunggal AI H9N2 ini tidak menimbulkan angka kematian yang tinggi. Pada perkembangannya, virus AI memiliki 2 mekanisme dalam mengganggu organ reproduksi ayam, yaitu pembendungan pembuluh darah di ovarium dan rusaknya permukaan ovarium pada saat budding exit atau keluarnya virus dari sel. Kedua mekanisme ini akan mengakibatkan penurunan bahkan menghentikan produksi telur. Infeksi AI juga mempengaruhi kualitas telur dimana serangannya menyebabkan telur kehilangan pigmennya sehingga warna kerabang menjadi lebih pucat.

Perubahan pada organ reproduksi akibat ND yaitu indung telur mengecil, ovarium yang radang dan bentuknya lembek menyerupai bunga kol. Pada infeksi virus EDS, ayam yang terserang akan tampak sehat dan tidak memperlihatkan gejala sakit namun terjadi penurunan produksi yang sangat drastis disertai penurunan kualitas telur. Selain itu, penyakit EDS juga menyebabkan warna coklat pada kerabang telur hilang, diikuti dengan kerabang tipis, lembek dan tanpa kerabang. Dari hasil bedah ayam, dapat dijumpai perubahan patologi anatomi berupa oviduct yang menjadi kendur dan terdapat oedema (penimbunan cairan) pada jaringan subserosa-nya.

Pada kasus serangan IB, ovarium tidak berkembang, lunak seperti bubur, berdarah, membengkak dan lembek. Selain itu sering dijumpai kasus pecahnya kuning telur pada rongga perut. Pada kasus IB yang disebabkan oleh QX strain menunjukkan perubahan pelebaran oviduk yang berisi cairan bening (cystic oviduct). Hal ini bisa diketahui secara klinis apabila kejadian sudah berlangsung lama (kronis) dengan gejala perut ayam tampak membesar dan berjalan dengan mendongak seperti pinguin.

Dari segi kualitas telur, kasus IB biasanya menyebabkan kerabang telur yang dihasilkan berwarna putih atau pucat, tipis, lembek, kasar, hingga bentuknya tidak simetris. Jika telurnya dibuka, dapat pula ditemukan adanya noda darah pada kuning telur (blood spot) dan batas antara putih telur tebal dan tipis tidak terlihat jelas. Untuk mempermudah perbandingan perubahan kualitas telur dapat juga dilihat pada Tabel 1.

Selain penyakit viral, produksi telur juga bisa menurun akibat penyakit bakterial seperti Coryza. Penyakit ini dapat menyebabkan gangguan produksi karena dampak penurunan feed intake yang drastis sehingga secara tidak langsung menyebabkan penurunan produksi telur.

2. Faktor non infeksius

Pada kasus non infeksius ada 3 penyebab, antara lain :

  • Kualitas pullet

Pada kasus yang disebabkan oleh kualitas pullet yang kurang baik ditandai dengan ciri-ciri memiliki berat badan yang kurang dari standar dan keseragaman pullet yang rendah. Periode produksi menjadi mundur dengan jumlah produksi yang rendah. Begitu juga sebaliknya, pertumbuhan BB yang melebihi standar akan menyebabkan produksi telur menjadi turun dengan ukuran telur yang besar. Selain itu juga sering memicu terjadinya kasus prolapsus. Kejadian prolapsus tentunya akan sangat berakibat fatal karena berdampak pada kerusakan permanen saluran telur sehingga ayam berhenti berproduksi. Adanya timbunan lemak tersebut juga akan menghambat proses pembentukan telur (produksi telur rendah).

Keseragaman pullet yang rendah dapat mengakibatkan ketidakseragaman awal produksi dan tidak seragamnya ukuran telur yang dihasilkan. Ciri lainnya, lamanya mencapai dewasa kelamin sehingga awal produksi menjadi terlambat. Adanya pullet yang mempunyai jarak tulang pubis yang sempit juga menjadi ciri tersendiri yang mengakibatkan ayam tersebut mempunyai ukuran telur yang lebih kecil.

  • Nutrisi ransum dan air minum

Kecukupan air minum perlu diperhatikan. Ayam petelur yang tidak mengonsumsi air minum hanya selama beberapa jam, akan berhenti berproduksi telur sampai berminggu-minggu.

Air yang terlihat jernih, bisa jadi mengandung bahan-bahan kimia dan mikroorganisme yang berbahaya. Belum lagi dengan perubahan musim yang tidak menentu di Indonesia, sangat memungkinkan kualitas air akan berubah-ubah. Kuncinya, kita sebagai peternak harus rutin memeriksa kualitas air yang ada di peternakan. Pemeriksaan kualitas air sebaiknya dilakukan secara periodik terutama saat terjadi pergantian musim, atau minimal 1 tahun sekali (World PoultryVol. 25 No.3, 2009).

Seringkali kasus ketidak- seimbangan nutrisi berdampak pada pencapaian berat badan ayam yang tidak sesuai dengan standar. Saat memasuki masa produksi, ayam dengan berat badan di bawah standar tidak akan memulai produksi telur dan jika berproduksi pun akan dihasilkan telur berukuran kecil dalam waktu yang relatif lama.

Kualitas ransum yang buruk, nutrisinya kurang atau tidak seimbang serta ransum yang mengandung zat racun/antinutrisi dapat menyebabkan penurunan produksi telur. Ukuran dan berat telur juga dipengaruhi oleh nutrisi ransum seperti protein, asam amino tertentu seperti methionine dan lysine, energi, lemak total dan asam lemak esensial seperti asam linoleat. Tidak terpenuhinya kebutuhan dari salah satu nutrisi tersebut melalui asupan ransum, maka akan mengurangi berat telur, bahkan jika hal tersebut terjadi pada petelur produksi sebelum umur 40 minggu, bisa berakibat pada penurunan jumlah produksi telur.

Ayam petelur membutuhkan asupan kalsium (Ca) yang cukup tinggi di masa produksi. Jika sediaan Ca di dalam tubuh ayam tidak tercukupi, maka jumlah produksi akan menurun dan pembentukan kerabang telur pun dapat terganggu. Akibatnya kerabang telur lembek. Asupan Ca juga mempengaruhi warna kerabang telur. Jika kadar Ca rendah atau tidak cukup maka sekresi phorpyrin saat pengecatan kerabang telur akan berkurang akibatnya warna kulit telur menjadi lebih putih.

Selain itu, harus diperhatikan pula keseimbangan antara Ca dan P (fosfor), dimana perbandingannya adalah untuk fase layer naik menjadi 4 : 1. Peranan Ca dan P saling terkait dan mempunyai hubungan yang menunjang satu sama lain. Disamping itu penggunaan Ca dan P akan lebih efisien bila dalam ransum cukup mengandung vitamin D. Vitamin D ini diperlukan untuk mengabsorbsi unsur Ca dan P dalam tubuh ayam. Selain vitamin D, dibutuhkan pula vitamin lain yang diperlukan untuk menyusun telur dan mengantisipasi efek stres yang mungkin timbul sehingga mengganggu produksi telur.

Nutrisi yang juga penting untuk diperhatikan kadarnya dalam ransum ialah mineral garam (NaCl). Pemberian kadar garam yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menurunkan produksi telur. Ayam yang kurang mengonsumsi garam akan menunjukkan gejala rontok bulu (mematuk ayam lain, mematuk bulunya sendiri) atau mengalami penurunan nafsu makan. Sebaliknya ayam yang mengkonsumsi terlalu banyak garam, akan meningkatkan konsumsi air minumnya dan menurunkan konsumsi ransum. Akibatnya nutrisi yang dibutuhkan untuk membentuk telur berkurang dan penurunan produksi pun akan terjadi.

  • Manajemen pemeliharaan

Kegagalan manajemen pemeliharaan ayam petelur tak pelak lagi juga mengakibatkan penurunan jumlah produksi dan kualitas telur. Tindakan manajemen tersebut mencakup banyak hal, antara lain sebagai berikut :

  1. Faktor stres

Stres dapat menyebabkan turunnya produksi telur. Stres yang biasa terjadi meliputi stres akibat perubahan cuaca/suhu (kedinginan atau kepanansan), pindah kandang, serangan parasit dan perlakuan kasar. Stres yang ditimbulkan akibat suara gaduh atau perlakuan kasar contohnya dapat menyebabkan proses pembentukan kerabang telur tidak berlangsung secara sempurna.

Stres akibat cuaca panas, menyebabkan ayam lebih banyak minum dan mengurangi feed intake sehingga kebutuhan nutrisi untuk pembentukan telur tidak terpenuhi. Kondisi ini dapat menyebabkan produksi telur turun, dari segi kualitas maupun kuantitas. Selama cuaca panas, ayam akan melakukan panting (megap-megap) sehingga mengeluarkan banyak karbondioksida (CO2). Pada pembentukan telur, CO2 diperlukan untuk membentuk kalsium karbonat (CaCO3) yang berguna untuk menyusun kerabang telur. Akibatnya kerabang akan lebih tipis dan mudah retak. Ayam akan cenderung mengurangi konsumsi ransum untuk mencegah tambahan panas dari hasil metabolisme dan justru meningkatkan konsumsi air minumnya.

2. Kurangnya pencahayaaan atau tidak cukupnya intensitas cahaya

Faktor pencahayaan saat masa pullet juga berhubungan erat sesuai dengan fungsinya yaitu untuk merangsang nafsu makan, pertumbuhan, memperlambat dewasa kelamin dan merangsang sekresi hormon FSH (Folicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone) yang berperan dalam pembentukan bakal kuning telur dan ovulasi (pelepasan kuning telur). Secara umum ayam yang mengalami kematangan seksual terlalu dini (belum cukup umur) akan memproduksi telur dengan ukuran kecil. Demikian juga sebaliknya ketika kematangan seksual terlambat, maka ayam akan memproduksi telur dengan ukuran besar (abnormal).

Mengatasi Berbagai Problematika Produksi Telur

Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan produksi telur ialah :

  • Faktor infeksius

Untuk mengatasi masalah penurunan produksi yang berkaitan dengan faktor infeksius, dalam hal ini kita hrus mencegah terjadinya infeksi penyakit melalui pelaksanaan program vaksinasi dan penerapan biosekuriti. Untuk mengatasi kasus karena infeksi penyakit seperti ND, AI, EDS dan IB, lakukan program vaksinasi sesuai kondisi peternakan setempat. Idealnya program vaksinasi seperti ND, EDS, IB, AI dan korisa sudah dilakukan selambatnya 2 minggu sebelum awal produksi. Sehingga saat memasuki masa kritis sudah tidak ada jadwal vaksinasi. Vaksinasi kembali diberikan setelah puncak produksi dan harus dilakukan dengan hati-hati.Contoh program vaksinasi dapat dilihat pada Tabel 2. Untuk ayam petelur yang telah memasuki masa produksi, sebaiknya lakukan pula monitoring titer antibodi ND, AI, EDS dan IB secara rutin.

  • Faktor non infeksius
  1. Perbaiki manajemen pemeliharaan

Lakukan kontrol berat badan (BB) ketika periode starter dan grower (pullet) hingga berproduksi. Target keseragaman berat badan dalam satu flok yang baik adalah 80-85% untuk pullet, sedangkan untuk ayam yang sudah berproduksi antara 70-80%. Keseragaman ideal terjadi bila 80-85% dari populasi ayam berat badannya sesuai dengan standar, dengan toleransi ± 10% dari target. Selain dari pemantauan berat badan, pullet yang sudah dewasa kelamin dan siap bertelur dilihat dari ciri-ciri jengger besar dan merah, panjang tulang kaki (shank) minimal 100 mm dan lebar tulang pubis selebar tiga jari orang dewasa.

Atur program pencahayaan. Ayam petelur yang sudah memasuki masa produksi telur, membutuhkan 16 jam pencahayaan untuk memelihara jumlah produksi telur tetap optimal.

Ciptakan kondisi yang nyaman selama masa pemeliharaan. Sediakan air minum dan tempat minum dalam jumlah yang cukup, buka tirai lebar-lebar, pasang kipas angin, ganti sekam yang basah, dan lakukan penyemprotan kandang dengan menggunakan desinfektan seperti Neo Antisep/Medisep. Selain itu juga harus menghindarkan dan meminimalkan faktor penyebab stres pada ayam seperti cuaca panas atau suara gaduh. Jika perlu, ayam dipuasakan makan 1-2 jam selama cuaca panas pada siang hari untuk mengurangi panas yang dikeluarkan oleh tubuhnya.

2. Penuhi kebutuhan nutrisi ransum

Berikan ransum dengan nutrisi yang sesuai kebutuhan ayam di tiap periode pemeliharaannya terutama untuk kandungan protein, asam amino, energi, asam lemak, kalsium, fosfor dan vitamin D (karena sangat berperan pada pembentukan telur). Untuk mengatasi kekurangan Ca, dapat ditambahkan grit (tepung kulit kerang) dalam ransum. Grit digunakan untuk cadangan kalsium saat ayam petelur akan memasuki fase bertelur. Perlu diingat juga bahwa penyerapan Ca oleh tubuh ayam dipengaruhi oleh kecukupan vitamin D. Oleh sebab itu selain pemberian grit, berikan suplemen yang mengandung asam amino, vitamin B kompleks, A, D, E dan beberapa mineral yang penting untuk membantu meningkatkan performa produktivitas telur. Pemberian Aminovit atau Strong Egg dapat membantu meningkatkan kualitas dan produksi telur. Sedangkan Mineral Feed Supplement A, Mix Plus atau Top Mix juga dapat diberikan untuk membantu meningkatkan kualitas ransum dan produksi telur. Jangan mengurangi jumlah pakan saat bertelur, terutama saat awal sampai puncak produksi.

3. Lakukan treatment air

Lakukan treatment air jika terjadi permasalahan. Jika sifatnya kompleks misal ada masalah terhadap kualitas fisik, kimia maupun bakteri. Maka dapat dipertimbangkan untuk membuat sistem treatment air modern seperti pada treatment air minum isi ulang untuk konsumsi manusia, sebagai contoh penggunaan mesin filter untuk menjernihkan air, pemasangan sistem Reverse osmosis (RO) untuk meminimalkan kandungan logam/mineral dan penggunaan lampu UV untuk membunuh bakteri E. Coli. Treatment lain yang bisa diberikan adalah dengan pemberian Netrabil dan Medimilk yang dapat menetralisir logam berat dan menetralkan pH.

4. Berikan Optigrin sebagai alternatif pengganti AGP yang mampu memelihara kesehatan saluran pencernaan ayam dengan cara merusak sel/dinding bakteri patogen dan membentuk lapisan pelindung pada vili-vili usus. Usus lebih sehat dan penyerapan nutrisi pakan lebih optimal sehingga produktivitas tercapai maksimal.

Jika diketahui mulai terjadi penurunan produksi telur, segera lakukan anamnesa disertai dengan pembacaan recording produksi sebagai langkah awal diagnosa. Langkah awal tersebut penting dilakukan untuk mendeteksi secara dini penyebab turunnya produksi sehingga dapat dilakukan penanganan lebih lanjut melalui program antisipasi yang tepat. Salam.

Produksi Telur dan Problematikanya

Produk Unggulan

x
Subscribe To Our Newsletter
We respect your privacy. Your information is safe and will never be shared.
Don't miss out. Subscribe today.
×
×
WordPress Popup Plugin